Nasib memiliki rumah bertetangga dengan pemilik warung nasi padang itu ibarat perempuan yang kenyang dengan rayuan gombal.
https://lakonhidup.com/2020/10/11/warung-padang-tetangga/
Setiap hari, aroma rempah masakan khas nasi padang itu menyapa
penciuman. Di jam-jam tertentu, aroma masakan seperti rayuan disertai ajakan
untuk merelakan diri dibelai-belai sepenuh hasrat. Bahkan kadang kala hasrat
itu minta dituntaskan menjadi sepiring nasi hangat yang masih mengepul,
potongan rendang atau ikan, disiram kuah gulai dan rendang di atas sayur daun
singkong, ditambah sambal hijau sebagai topping.
Udara panas ketika menyantap rasa pedas masakan ini berlomba
dengan desahan puas, sesekali berseru: “tambo ciek!” seolah
dunia milik sendiri dan diet adalah daftar terakhir dari seratus pantangan yang
diingat. Begitulah imajinasiku tentang menikmati masakan padang langsung di
tempatnya.
Kau tahu bagaimana
rayuan maut lelaki, bukan? Sederetan julukan untuk lelaki perayu sudah banyak
dikenal, mulai dari cassanova, don juan, buaya darat, hingga lelaki hidung
belang. Sebutan ini tidak pernah mengenal kasta dan strata sosial. Setiap
lelaki yang pandai merayu perempuan dan mengakibatkan perempuan mudah terjatuh
dalam pelukan, mendapat julukan yang serupa. Dan perempuan, sering kali lupa
diri ketika dimabuk rayuan.
Bagi perempuan yang
kebetulan pernah berjumpa dengan beragam tipe lelaki, meskipun sudah hafal
berbagai jurus rayuan, ada perasaan senang diam-diam. Itu terbukti dari rona
merah di pipi yang menyemburat tiba-tiba begitu terkena rayuan yang
menggetarkan. Anehnya pula, meski tahu rayuan itu hanya gombalan untuk
menyenangkan hati, perempuan tidak pernah kapok menerimanya.
Begitupun yang terjadi
padaku setiap hari. Hidungku sering sekali dirayu oleh aroma masakan padang
dari dapur tetangga. Dan walaupun tahu tak mungkin memakan masakan padang itu
setiap hari, aku tak pernah merasa keberatan perutku digombali imajinasi,
mereka-reka bagaimana olahan makanan itu dikerjakan. Apakah mereka jorok atau
berseka selama memasak? Pertanyaan yang mirip dengan ini: gombalan apa yang
akan dia berikan berikutnya, apakah rayuan lelaki ini dilontarkan pula pada
perempuan lainnya? Mirip bukan?
Jangan protes,
sebaiknya kau iyakan saja perumpamaan suka-suka itu. Kerap kali aku juga merasa
kenyang dengan gombalan aroma masakan padang tetangga, seperti aku merasa
kenyang dengan rayuan gombal para lelaki. Walaupun tetap saja, suatu kali aku
terjebak dan bagai dicucuk hidung menuruti hasrat dasar; mengenyangkan perut.
Sejak pukul enam atau
setengah tujuh, dari dinding dapur tetangga yang bersebelahan dengan batas
kolam, sudah terdengar suara anggota keluarga bertimpalan. Kadang terdengar
sapaan sang kakek atau nenek menyapa cucu balitanya yang baru saja bangun. Tak
lama suara ayah si balita itu turut pula menghangatkan suasana, mengajak sang
anak bercanda. Kadang-kadang terdengar tangisan anak-anak yang berebut entah
apa. Oya, anak balita itu sepasang kembar yang cantik dan ganteng. Mereka lucu
dan menggemaskan sekali. Suara ibu balita jarang terdengar, mungkin karena
pembawaannya yang tidak cerewet. Iya, sejauh yang kutahu sekilas, sebab aku tak
pernah sempat bicara lama dengan mereka.
Pada pukul setengah delapan pagi, biasanya mulai terdengar suara
desis pressure cooker atau kita biasa menyebutnya panci
presto. Pasti mereka sedang merebus daging sapi. Berturutan dengan itu, aroma
ikan kembung goreng menyeruak ke udara sekira pukul sembilan. Aku yakin, tanpa
perlu melihat, aroma ikan yang sudah dimarinasi dengan garam dan jeruk nipis
telah digulingkan dalam bumbu halus campuran bawang putih, bawang merah, dan
kunyit, kemudian digoreng dalam minyak panas hingga matang kecoklatan.
Kau tahu, di hari-hari
tertentu ketika aku berlatih yoga pada jam mereka memasak, sering kali
pikiranku tak bisa fokus pada asana yang sedang dipelajari. Godaan datang
terutama ketika sudah lama tak memakan masakan padang, dan lidah sedang sangat
rindu pada pesona rasa yang memikat lidah. Tentu bisa kau bayangkan bagaimana
aku seolah diburu menyelesaikan latihan karena ingin segera lari membeli
rendang dan perkedel, meminta tambahan kuah rendang disiramkan lebih banyak di
atas sayur daun singkong dengan sedikit sambal hijau.
Biasanya aku jarang sekali membeli porsi komplet dengan nasi,
sebab sudah ada nasi di rumah. Aku hanya mengidamkan lauknya saja. Sesekali,
ketika keengganan memasak itu tiba, walau hanya tinggal memencet tombol majic jar untuk memasak nasi, ke sanalah aku
pergi, warung nasi padang tetangga. Kalau sedang beruntung bertemu Uni, sang
nenek balita, sebungkus nasi putih hangat seharga lima ribu rupiah sering
dibonusi potongan ayam goreng. Sering kali kutolak, karena aku memang hanya
hendak membeli nasi.
“Jangan Uni, ini cuma
perlu nasi aja, malas masak, tapi mau sekalian menghabiskan lauk kemarin,”
kutolak halus pemberiannya. Dan sesering itu pula Uni memaksa memasukkan
potongan ayam goreng itu ke dalam kertas nasi.
“Biarin, enggak
apa-apa. Uni kan gak bisa kasih apa-apa sama tetangga.”
Kalau sudah begitu,
rezeki tidak boleh ditolak, bukan? Ibaratnya, rayuan yang tiap hari mampir ke
hidung itu berbonus kegembiraan sebuah pembuktian cinta yang nyata. Kumaknai
itu sebagai wujud cinta Uni, sang tetangga.
***
Setiap hari, rutinitas
memasak mereka tidak pernah berubah. Pagiku diramaikan dengan cicit burung
setiap membuka jendela kamar di lantai dua, disambung suara celotehan tetangga
di dapur mereka, sebelum akhirnya aku pun sibuk dengan rutinitas pagiku
sendiri. Membereskan ruangan dan mulai bekerja di depan layar komputer
setelahnya.
Aku memang seseorang
yang sangat betah berdiam di rumah. Bisa berhari-hari hanya keluar beberapa
langkah saja ke teras depan, ke samping rumah, atau kebun belakang. Jadi bisa
saja, aku tidak tahu apa yang terjadi di luar rumah. Dan aku kadung nyaman
dengan kebiasaan tersebut.
Sudah beberapa hari
ini, rayuan aroma masakan padang tak pernah mampir lagi ke hidungku. Awalnya
tak terlalu kuperhatikan. Tapi lama-lama penasaran juga, kenapa pada setiap jam
biasa, suara kesibukan memasak saling bertingkah antara blender yang menguarkan
aroma cabai sebelum jadi sambal, suara desis panci presto, dan seruan-seruan
lain, tak pernah lagi menggodaku untuk membayangkan bagaimana mereka mengolah
masakan yang lezat.
Akhirnya kudatangi
warung nasi tetanggaku, untuk memastikan mereka masih berjualan, sekaligus
melihat apakah mereka memang berada di rumah atau sedang mudik ke kampung
halaman. Kemungkinan kedua rasanya sangat tidak mungkin, sebab di masa
penjarakan sosial karena virus Corona ini, semua orang dilarang bepergian.
Aktivitas masyarakat
serba dibatasi. Pasar tradisional hanya dibolehkan beroperasi dari pukul lima
pagi hingga pukul satu siang. Tukang ojek pangkalan menunjukkan wajah-wajah
lesu, pedagang makanan keliling ragu-ragu. Semua dilanda kekhawatiran yang
besar terhadap virus yang menyerang seluruh negara di dunia dengan serempak.
Dan karena pada dasarnya aku jarang keluar rumah untuk hal yang tidak terlalu
penting, pemberlakuan peraturan untuk diam di rumah saja rasanya tidak terlalu
menyiksa.
Rasa heran masih
menaungi pagiku karena rutinitas yang hilang. Ibarat seorang perempuan yang
gelisah bertanya mengapa hari-hari belakangan tak pernah lagi mendapatkan
rayuan gombal lelakinya. Apakah sudah pindah ke lain hati atau sedang jenuh?
Rasanya tetanggaku tak mungkin pindah, karena mereka belum setahun membangun
rumah di atas lahan warisan ayahku yang sudah terjual itu. Kecil kemungkinan
pula mereka jenuh lalu beralih pada bisnis lainnya. Di kota kecil ini, warung
nasi mereka merupakan satu-satunya yang menjual cita rasa masakan padang dengan
baik. Jadi pasti tak ada saingan. Pelanggannya akan kehilangan jika mereka
tutup.
Kumantapkan langkah kaki menuju warung tetangga. Tak ada aroma
rempah yang gurih. “Dek, lho, buka ya
ternyata,” kusapa menantu Uni yang sedang berjaga di warungnya.
“Iya Mbak, buka kok.
Tapi ya begitu, tidak seramai kalau normal. Mbaknya mau cari apa?” perempuan
manis ini selalu mengakhiri kalimat dengan senyum ramah.
“Gak, Dek. Lihat-lihat
aja. Sudah makan tadi. Syukurlah kalau masih buka. Kalau saya malas masak,
tinggal lari kemari,” aku menyembunyikan motif asliku mendatanginya. Buru-buru
aku pamit dengan alasan kebetulan lupa memakai masker.
Lega rasanya menjumpai
mereka masih berjualan seperti biasa. Walau aku tak berani bertanya, kapan
mereka memasak dan tetap berjualan dengan menu yang sama: gulai, rendang,
perkedel, ikan kembung, balado, ayam pop, telur dadar, tempe, teri terong cabai
hijau, sayur nangka, sayur daun singkong, dan yang terpenting: sambal hijau.
Kau mungkin bertanya bagaimana aku bisa memastikan semua menu lengkap. Kuberi
tahu, setiap kubeli salah satu menu, sambil memerhatikan Uni atau siapa pun
mengambil pesanan, kuamati makanan itu satu per satu. Dan karena mereka tidak
pernah mengubah posisinya, aku hafal dengan sendirinya, di piring tumpukan ke
berapa letak jenis-jenis makanan itu.
Pernah suatu hari aku
bertanya sambil berkelakar setelah Uni lagi-lagi memberi bonus, kali itu
potongan rendang. Aku pesan dua, Uni memasukkan tiga potong. “Un, selain resep
turun-temurun, ada ritual khusus atau pantangankah biar masakannya terasa lezat
begini?” kulontarkan pujian di ujung pertanyaan.
“Ah, Adek nih.
Enggaklah, masak ya biasa aja. Harus bersih, harus hati-hati. Oya, masaknya
harus gembira biar masakannya enak.” Uni menanggapi sambil tertawa.
“Yakin nih, Uni, cuma
itu saja? Pakai jampi-jampi gak, Un? Kan suka ada tuh pedagang lain yang kalau
pagi-pagi menciprat-cipratkan air cucian beras di sekeliling gerobak atau di
halaman kedainya sambil komat-komit seperti membaca sesuatu. Atau ada pantangan
gak boleh jualan hari Senin.”
Aku tetap mengejarnya
dengan pertanyaan berdasarkan pengamatanku pada kedai minuman coklat di
seberang jalan.
“Hahaha… Enggak lah.
Ya paling Uni sih pantang masak dilihat orang lain selain orang rumah. Bukan
apa-apa sih, takutnya grogi. Ini, Dek, lima belas ribu aja,” Uni menyorongkan
pesanan sebagai tanda menutup percakapan.
Perbincangan itu
terjadi dua minggu lalu, sebelum aku dilanda rasa penasaran luar biasa tentang
isi dapur mereka, bagaimana mereka mengolah semua bahan makanan agar bisa jadi
hidangan paling diburu oleh para penikmat masakan berempah.
Pagi lain lagi-lagi
rayuan aroma masakan padang mengusikku. Selalu begitu, sesuai jadwal mereka
memasak. Kebetulan Mang Udin baru saja membetulkan tepian kolam ikan yang
berbatasan dengan dapur tetanggaku itu. Batu-batu besar disusun di atas
pematang. Entah mendapat bisikan dari mana, aku mendekati dapur mereka, mencari
batu yang lebih tinggi setelah menaiki pematang kolam. Ada lubang kecil yang
bisa dijadikan celah untuk mengintip. Aku terbelalak melihat pemandangan di
dapur itu. Saking kagetnya, aku terpeleset dan tercebur ke kolam, mengagetkan
ikan-ikan. Celotehan tetanggaku langsung terhenti. Kuduga mereka sedang saling
lirik dan bertanya-tanya. Ah, keisenganku itu memang bukan untuk diulang.
***
Sudah menginjak minggu
ketiga, aku masih tak bisa mencium aroma masakan tetangga. Aku rindu mendengar
seruan dan celotehan mereka di dapur. Aku rindu otakku dirayu untuk memakan
masakan padang. Tapi sudah terbukti, mereka masih berjualan. Baiklah, akan
kuobati kerinduan itu dengan membeli saja masakan mereka. Kadang-kadang rindu
memang aneh.
“Uni, saya mau
perkedel tiga, ikan kembung dua ya. Minta kuah rendangnya juga.”
“Siap, Dek!” cekatan
tangan Uni melayani.
“Mmm…Uni, maaf, kalau
boleh tahu, Uni sekarang masak pukul berapa ya? Kok saya gak pernah dengar lagi
suara ramai di dapur? Bahkan aroma rendang yang selalu menggoda itu tak pernah
lagi saya cium.” Akhirnya aku tak tahan bertanya.
Uni mendadak menghentikan
gerakannya. Wajahnya segera berbalik, matanya menatapku tajam.
“Adek mengintip dapur
Uni?” ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar