Sabtu, 31 Oktober 2020

Rasa Terakhir

 Terakhir

katakan yang benar 

tentang

Kamis, 22 Oktober 2020

Terjangkit-di hati-hati



 Ini adalah kisah

yang dimulai

dengan 

tanpa rencana dan

begitu saja


lalu lelah

dan pergi saja

lalu tidak diingat


dan itu menjadi bagian dari

kemalasan orang-orang

yang terjangkit 

di hati-hati

Rabu, 21 Oktober 2020

Tulus-Teman Hidup



Pada akhirnya tuhan

menentukan teman hidupku,

dan teman

yang terbaik


dan saya

tidak tahu dimana dia sekarang
 

Jumat, 16 Oktober 2020

Me Os PLANOS



Ah I miss the jealousy and jealousy
Ah faltam-me as saudades e os ciúmes

Already, I have my account of serene evenings
Já, tenho a minha conta de serões serenos

I want to go dance
Quero é ir dançar
I know where I'm going
Sei por onde vou

It's the best way
É o melhor caminho

I don't leave anything to chance
Não deixo nada ao acaso

Please, change my step
Por favor, anda trocar-me o passo
I have a routine
Tenho uma rotina

For every day
Pra todos os dias

It will last for many years
Há de durar muitos anos

Please, ruin my plans
Por favor, anda estragar-me os planos
Get books out of the right order
Tira os livros da ordem certa

Leave the bedroom window open
Deixa a janela do quarto aberta

Makes me forget that tomorrow I'm going to work
Faz-me esquecer que amanhã vou trabalhar
Ah, I miss and miss jealousy
Ah, faltam-me as saudades e os ciúmes

Already, I have my account of serene evenings
Já, tenho a minha conta de serões serenos

I want to go dancing
Quero ir dançar
One two...
Um, dois...

Ah, I miss and miss jealousy
Ah, faltam-me as saudades e os ciúmes

Already, I have my account of serene evenings
Já, tenho a minha conta de serões serenos

Silly afternoons, mechanical mornings
Tardes tontas, manhãs mecânicas

I want to go dance
Eu quero é ir dançar

Kamis, 15 Oktober 2020

Rahman-Rahman



Apa yang paling pentig dari semua ini?



 

Rabu, 14 Oktober 2020

Cerpus: Cerita Berpuisi-Rasa Rindu Atas Es Krim



Es krim menjadi makanan kesukaanku. Rasanya yang manis membuat hati ceria dan pikiran fresh dari dingin yang mengigil di lidah. Semua menyatu dalam beragam rasa yang tersedia dalam satu wadah atau mungkin anda lebih suka rasa monoton.

Bagaimana es krim itu di buat?



saya berpikir bahwa es krim di buat dari rasa bahagia yang manis dan penuh kepercayaan bahwa dialah pemenang hari ini.

Ah itu hanya alasan mati agar saya bisa makan es krim setiap hari.

**

Saya tida memiliki waktu khusus untuk makan es krim, pagi, siang, sore maupun malam tidak masalah. Bagiku es krim adalah kesukaan tanpa mengenal waktu.

hari ini saya belum makan es krim, rasanya rindu. Es krim tetangga tidak seenak es krim yang biasa menjadi langganan saya. Es krim tetangga terllau manis dan terlalu mahal tidak sesuai budget dan rasa lidah saya. Mohon di maafkan tetanggaku atas lidahku yang kurang bersahabat.

Bagiku es krim harus sesuai dengan rasa, suasana dan kenikmatan dalam satu jilatan yang dingin dalam suasana kepanansan. 

Menjadikan pikiran menjadi lebih calm dan bersyukur. Masih ada kenikmatan yang harus disyukuri diantara rasa-rasa yang sudah membuat putus asa.

**

Rasa-ras yang diberikan kepada es krim diantaranya

Strawberry

cokelat

Vanila

dan

Sesuka anda jika anda yang membuatnya sendiri di rumah.

Pernahkah anda membuatnya sendiri dengan bahan kesukaan anda?

Rasanya aku ingin pernah membuatnya, namun gagal. Kasihan

**

Ada banyak cara menikmati es krim, agar lebih joyful sebaiknya eskrim dinikmati bersama dengan orang yang membuat hati anda riang atau yang ingin membuat hati anda riang. 

Karena itu sangat inda untuk dinikmati oleh kita-kita semua.

Di bangku taman, menghadap orang lalu lalang yang sedang menyelesaikan rally nya dan anda hanya sedang menonton sambil menikmati hidup. Nikmat Tuhan mana lagi yang kamu dustakan?






Selasa, 13 Oktober 2020

bergelora rasa di hati

 Benar

Engkau tidak mengatakan apa-apa

Tentang cinta, yang sering

Mengelorakan rasa-rasa

Lalu menghilang dengan caranya sendiri

Seperti cuaca sepanjang waktu


Benar

Semua akan mengalir

Menuju ke laut

Dan kembali lagi seperti semula


Lalu kita

Menghilang dengan cara kita sendiri

Berlarilah

 Dimana lagi aku berlari

Pengakuan

 


Hidupku semakin hari semakin tidak bisa lagi dihentikan

banyak yang dipikirkan, hanya dalam pikir

kemampuan berbuat

sangat terbatas

hanya ini dan itu saja

ini dan itu saja

yang seharusnya disyukuri 

malah jadi boomerang

atas diri

Senin, 12 Oktober 2020

Sambal Terasi: Ayam Goreng

 

“Dik, tolong buatkan aku sambal terasi ya,” pinta Adi. Nisa langsung mengangguk lembut sambil melipat jemuran yang belum sempat disetrika.



Sambal terasi merupakan favorit Adi. Makan apa pun, sambal terasi pelengkapnya. Mungkin bisa sampai satu kilo untuk dua minggu. Kebiasaan Adi itu dibawa dari rumahnya dulu. Ibunya selalu membuat sambal setiap hari. Tak lupa ditemani berbagai macam lalapan lengkap untuk menambah cita rasa.

Nisa kurang menyukai makanan pedas, apalagi sambal. Namun, untuk memenuhi keinginan suaminya, Nisa terpaksa membuatnya setiap hari. Meski rasanya tak seenak buatan ibu Adi, Adi selalu menagih untuk dibuatkan. Mungkin rasanya sudah mendekati. Itulah sebabnya dia selalu minta dibuatkan.

“Sambal buatan kamu selalu jadi favorit.”

“Mas, harus ya setiap hari makan sambal?”

“Emang kenapa, Dik?”

“Gak kenapa-kenapa.”

“Makan sambal itu ibarat pelengkap. Kalau gak ada ya gak lengkap. Kurang mantep aja.”

“Tapi kan kalau setiap hari bosen,” celoteh Nisa kepadanya.

Dengan jaket tebal dan kantong belanjaan Nisa berjalan menyusuri jalan raya menuju pasar. Matahari belum naik, tapi langkahnya harus segera sampai di pasar untuk belanja bahan masak pagi ini. Apalagi, di tengah masa WFH seperti ini, Nisa wajib ke pasar karena anak-anak dan suaminya berada di rumah. Beli makanan jadi rasanya lebih boros. Karena itu, dia memilih memasak sendiri.

Nisa memilih sayur dan lauk untuk masak hari ini. Saat melihat cabai, tangannya langsung gatal untuk membeli. Namun, rasanya hari ini Nisa malas membuat sambal. Satu hari tak ada sambal mungkin tak masalah bagi Adi.

Sepulang dari pasar, tangannya langsung terampil mangolah bahan-bahan yang sudah dibeli tadi. Anak-anak dipegang Adi. Dengan telaten, Adi memandikan sampai memakaikan baju mereka. Tak lupa polesan bedak yang ditepuk asal menempel di muka kedua anak mereka, Aish dan Hamzah.

Jam makan sudah tiba. Meski masih pagi, Adi sudah terbiasa makan sambal. Namun, kali ini tak ada sajian sambal di meja makan. Adi membuka setiap wadah yang tertutup.

“Dik, sambalnya mana?”

“Nisa gak buat hari ini. Repot Mas kalau setiap hari buat sambal. Gak apa-apa kan?”

“Oh repot. Anak-anak kan aku yang pegang, Dik.”

“Iya juga sih. Nisa malas aja sih sebenernya, Mas,” jawabnya menyeringai.

Adi hanya tersenyum sambil menaruh nasi dan lauk di atas piring.

Nisa memperhatikan Adi yang tampak lahap memasukkan setiap suap ke mulutnya. Nisa ingin memastikan suaminya makan seperti biasa. Tak tampak gurat kekecewaan di wajahnya karena tak ada sambal favoritnya. Ibarat angin segar, Nisa akan membiasakan suaminya makan tanpa sambal. Hanya sesekali Nisa harus membuat sambal. Nisa tak akan lagi kerepotan di dapur.

Membuat sambal itu agak merepotkan bagi Nisa. Mengupas bawang merah, bawang putih, memetik tangkai cabai yang kadang membuat tangan panas, diulek pula. Belum lagi harus digoreng dan dicicipi agar tak keasinan. Alhasil, lidahnya panas dan kepedasan.

Urusan sambal hari ini selesai. Dalam hati Nisa meminta maaf pada diri sendiri yang sudah malas membuat sambal untuk suaminya. Padahal, Adi adalah suami yang selalu pengertian dan ringan hati untuk memastikan Nisa merasa nyaman.

Namun, Nisa merasa berat jika harus melakukan hal yang sama setiap hari.

“Gak masak sambal lagi, Dik?”

“Enggak Mas, Nisa lupa kalau cabai habis di kulkas.”

“Bukannya waktu aku ngepel rumah, kamu ke pasar?”

“Nah itu, Nisa juga lupa beli waktu di tukang sayur. Maaf ya, Mas.”

Kali ini Nisa merasa bersalah karena wajah Adi menampakkan rasa kecewa. Namun, hanya semangkuk kecil sambal. Adi tak akan menganggapnya masalah besar. Masalah sambal sama sekali tak akan mengubah sikap Adi. Adi tetap lahap meski makan ala kadarnya karena tak ada sambal plus lalapan pelengkap nafsu makan. Nisa tetap kokoh pendirian untuk membuat Adi terbiasa tanpa sambal.

Keesokan harinya, Adi sengaja mengunjungi orang tuanya. Demi keamanan, Nisa dan anak-anak tidak diajak. Adi berkunjung untuk memberi uang bulanan kepada ibunya. Adi hanya sebentar mengunjungi ibunya. Rumahnya hanya berjarak lima kilometer dari rumah Adi.

Nisa mencium punggung tangan Adi ketika Adi pulang, sambil mengambil keresek berisi wadah berwarna merah.

“Mas udah makan? Yuk makan. Nisa udah masak karedok kesukaanmu, tapi tak ada sambal. Karedoknya kubuat pedas sebagai pengganti sambal ya.”

“Iya yuk, tapi Mas makan sedikit aja, ya. Soalnya udah makan di rumah ibu tadi.”

“Pasti karena ada sambal ya?”

“Bukan karena itu, ibu udah sengaja masak buat Mas. Masa Mas gak makan.”

“Ya udah, Nisa makan sendiri kalau gitu.”

“Gapapa, Mas ikut makan juga, nemenin.”

Masih tentang sambal. Adi sengaja makan di tempat ibu demi semangkuk kecil sambal goreng, pikir Nisa. Dia terus berpikir keras dan merasa tak enak hati. Apa niatnya sejahat itu tak mau membuatkan sambal terasi untuk suaminya sendiri? Namun, Adi tak pernah protes apa pun yang menjadi pilihan Nisa. Untuk sambal pun, Adi tak pernah meminta Nisa secara langsung meskipun setiap makan selalu ditanyakan.

Ada sesuatu yang mengganjal di hatinya. Apakah Adi ridha padanya. Berkali-kali makan, sambal kesukaannya tak tersaji di meja makan.

Nisa menuju dapur untuk membuatkan sambal. Adi berjalan di belakang Nisa.

“Yuk makan malam.”

“Nisa baru mau….”

“Ada sambal ibu di dalam wadah tadi,” jawab Adi menimpali.

Nisa langsung diam seribu bahasa karena malu dan kikuk. Nisa langsung duduk di meja makan menemani Adi makan malam. Tak ada obrolan santai, apalagi serius di meja makan. Setelah selesai makan, Adi bersiap melanjutkan pekerjaan online-nya di ruang tamu. Nisa langsung mencuci piring di wastafel.

***

Hari itu Nisa tak akan ke pasar karena bahan masakan tersedia di kulkas. Namun, jarum jam masih di angka enam, Adi sudah bersiap memakai masker dan sarung tangan membawa kunci motor.

“Mau ke mana, Mas?”

“Mau ke pasar, Dik, anak-anak jagain ya. Takut ngejar.”

Adi bergegas menyalakan motor lalu berlalu meninggalkan Nisa di daun pintu. Padahal, dia belum sempat menanyakan untuk apa Adi ke pasar. Selama Adi ke pasar, Nisa mulai sibuk di dapur. Masakan pagi itu sudah tersaji saat Adi pulang. Juga ada sambal buatan Nisa yang sudah beberapa hari tak tersaji.

“Yuk makan, enak nih hari ini makannya. Mana gunting ya?”

“Buat apa? Katanya mau makan, tapi yang dicari gunting.”

“Ini, tadi Mas beli sambal ulek instan yang saset.”

“Mas…..”

Nisa menutup wajah sambil terisak. Adi tampak kebingungan pada Nisa yang tiba-tiba terisak cukup keras. Adi menghampiri Nisa sambil berusaha membuka wajahnya yang ditutup.

“Hei, kenapa kenapa, Dik? Hari ini capek masak ya? Maafin Mas, tadi pagi gak bantuin kamu pegang anak-anak ya.”

“Bukan itu, Mas…”

“Iya kenapa, Dik? Coba cerita””

Nisa meletakkan tangannya di atas meja sambil sesekali menghapus air matanya.

“Nisa merasa bersalah. Mas sampai beli sambal instan. Kemarin sambal buatan ibu. Apa besok sambal buatan istri kedua? Kenapa Mas gak ngomong aja kalau mau sambal buatan Nisa?”

“Wah gawat, ngomong-nya ngelantur ini. Karena sambal, jadi Adik kesel liat Mas beli sambal?”

“Bukan. Justru Nisa yang merasa bersalah, Mas. Nisa ogah buatin Mas sambal, padahal itu favoritmu.”

“Kalau Adik mau masak sambal, masak aja. Enggak pun gak apa-apa.”

“Apa ridha Mas ada di semangkuk sambal?”

“Lah kok gitu, Mas ridha sama kamu, Dik. Kamu masak sambal ataupun enggak,” jawab Adi terkekeh.

“Besok-besok Nisa masak sambal terus buat kamu.”

“Iya, Dik. Asal kamu gak capek. Kamu masak itu udah kebaikan. Masak masakan kesukaan suami, itu kebaikan yang luar biasa.”

“Maafkan Nisa, Mas. Nisa gak masak sambal karena Nisa gak suka bau terasi.”

“Kalau kamu buat sesuatu padahal gak suka dan itu buat suami, kamu bisa masuk surga dari pintu mana saja. Terasi yang bau mungkin sewangi kasturi surga.”

Air mata Nisa makin mengucur deras di pipi merahnya

 

Aroma Nasi Padang

Nasib memiliki rumah bertetangga dengan pemilik warung nasi padang itu ibarat perempuan yang kenyang dengan rayuan gombal.



https://lakonhidup.com/2020/10/11/warung-padang-tetangga/

Setiap hari, aroma rempah masakan khas nasi padang itu menyapa penciuman. Di jam-jam tertentu, aroma masakan seperti rayuan disertai ajakan untuk merelakan diri dibelai-belai sepenuh hasrat. Bahkan kadang kala hasrat itu minta dituntaskan menjadi sepiring nasi hangat yang masih mengepul, potongan rendang atau ikan, disiram kuah gulai dan rendang di atas sayur daun singkong, ditambah sambal hijau sebagai topping.

Udara panas ketika menyantap rasa pedas masakan ini berlomba dengan desahan puas, sesekali berseru: “tambo ciek!” seolah dunia milik sendiri dan diet adalah daftar terakhir dari seratus pantangan yang diingat. Begitulah imajinasiku tentang menikmati masakan padang langsung di tempatnya.

Kau tahu bagaimana rayuan maut lelaki, bukan? Sederetan julukan untuk lelaki perayu sudah banyak dikenal, mulai dari cassanova, don juan, buaya darat, hingga lelaki hidung belang. Sebutan ini tidak pernah mengenal kasta dan strata sosial. Setiap lelaki yang pandai merayu perempuan dan mengakibatkan perempuan mudah terjatuh dalam pelukan, mendapat julukan yang serupa. Dan perempuan, sering kali lupa diri ketika dimabuk rayuan.

Bagi perempuan yang kebetulan pernah berjumpa dengan beragam tipe lelaki, meskipun sudah hafal berbagai jurus rayuan, ada perasaan senang diam-diam. Itu terbukti dari rona merah di pipi yang menyemburat tiba-tiba begitu terkena rayuan yang menggetarkan. Anehnya pula, meski tahu rayuan itu hanya gombalan untuk menyenangkan hati, perempuan tidak pernah kapok menerimanya.

Begitupun yang terjadi padaku setiap hari. Hidungku sering sekali dirayu oleh aroma masakan padang dari dapur tetangga. Dan walaupun tahu tak mungkin memakan masakan padang itu setiap hari, aku tak pernah merasa keberatan perutku digombali imajinasi, mereka-reka bagaimana olahan makanan itu dikerjakan. Apakah mereka jorok atau berseka selama memasak? Pertanyaan yang mirip dengan ini: gombalan apa yang akan dia berikan berikutnya, apakah rayuan lelaki ini dilontarkan pula pada perempuan lainnya? Mirip bukan?

Jangan protes, sebaiknya kau iyakan saja perumpamaan suka-suka itu. Kerap kali aku juga merasa kenyang dengan gombalan aroma masakan padang tetangga, seperti aku merasa kenyang dengan rayuan gombal para lelaki. Walaupun tetap saja, suatu kali aku terjebak dan bagai dicucuk hidung menuruti hasrat dasar; mengenyangkan perut.

Sejak pukul enam atau setengah tujuh, dari dinding dapur tetangga yang bersebelahan dengan batas kolam, sudah terdengar suara anggota keluarga bertimpalan. Kadang terdengar sapaan sang kakek atau nenek menyapa cucu balitanya yang baru saja bangun. Tak lama suara ayah si balita itu turut pula menghangatkan suasana, mengajak sang anak bercanda. Kadang-kadang terdengar tangisan anak-anak yang berebut entah apa. Oya, anak balita itu sepasang kembar yang cantik dan ganteng. Mereka lucu dan menggemaskan sekali. Suara ibu balita jarang terdengar, mungkin karena pembawaannya yang tidak cerewet. Iya, sejauh yang kutahu sekilas, sebab aku tak pernah sempat bicara lama dengan mereka.

Pada pukul setengah delapan pagi, biasanya mulai terdengar suara desis pressure cooker atau kita biasa menyebutnya panci presto. Pasti mereka sedang merebus daging sapi. Berturutan dengan itu, aroma ikan kembung goreng menyeruak ke udara sekira pukul sembilan. Aku yakin, tanpa perlu melihat, aroma ikan yang sudah dimarinasi dengan garam dan jeruk nipis telah digulingkan dalam bumbu halus campuran bawang putih, bawang merah, dan kunyit, kemudian digoreng dalam minyak panas hingga matang kecoklatan.

Kau tahu, di hari-hari tertentu ketika aku berlatih yoga pada jam mereka memasak, sering kali pikiranku tak bisa fokus pada asana yang sedang dipelajari. Godaan datang terutama ketika sudah lama tak memakan masakan padang, dan lidah sedang sangat rindu pada pesona rasa yang memikat lidah. Tentu bisa kau bayangkan bagaimana aku seolah diburu menyelesaikan latihan karena ingin segera lari membeli rendang dan perkedel, meminta tambahan kuah rendang disiramkan lebih banyak di atas sayur daun singkong dengan sedikit sambal hijau.

Biasanya aku jarang sekali membeli porsi komplet dengan nasi, sebab sudah ada nasi di rumah. Aku hanya mengidamkan lauknya saja. Sesekali, ketika keengganan memasak itu tiba, walau hanya tinggal memencet tombol majic jar untuk memasak nasi, ke sanalah aku pergi, warung nasi padang tetangga. Kalau sedang beruntung bertemu Uni, sang nenek balita, sebungkus nasi putih hangat seharga lima ribu rupiah sering dibonusi potongan ayam goreng. Sering kali kutolak, karena aku memang hanya hendak membeli nasi.

“Jangan Uni, ini cuma perlu nasi aja, malas masak, tapi mau sekalian menghabiskan lauk kemarin,” kutolak halus pemberiannya. Dan sesering itu pula Uni memaksa memasukkan potongan ayam goreng itu ke dalam kertas nasi.

“Biarin, enggak apa-apa. Uni kan gak bisa kasih apa-apa sama tetangga.”

Kalau sudah begitu, rezeki tidak boleh ditolak, bukan? Ibaratnya, rayuan yang tiap hari mampir ke hidung itu berbonus kegembiraan sebuah pembuktian cinta yang nyata. Kumaknai itu sebagai wujud cinta Uni, sang tetangga.

***

Setiap hari, rutinitas memasak mereka tidak pernah berubah. Pagiku diramaikan dengan cicit burung setiap membuka jendela kamar di lantai dua, disambung suara celotehan tetangga di dapur mereka, sebelum akhirnya aku pun sibuk dengan rutinitas pagiku sendiri. Membereskan ruangan dan mulai bekerja di depan layar komputer setelahnya.

Aku memang seseorang yang sangat betah berdiam di rumah. Bisa berhari-hari hanya keluar beberapa langkah saja ke teras depan, ke samping rumah, atau kebun belakang. Jadi bisa saja, aku tidak tahu apa yang terjadi di luar rumah. Dan aku kadung nyaman dengan kebiasaan tersebut.

Sudah beberapa hari ini, rayuan aroma masakan padang tak pernah mampir lagi ke hidungku. Awalnya tak terlalu kuperhatikan. Tapi lama-lama penasaran juga, kenapa pada setiap jam biasa, suara kesibukan memasak saling bertingkah antara blender yang menguarkan aroma cabai sebelum jadi sambal, suara desis panci presto, dan seruan-seruan lain, tak pernah lagi menggodaku untuk membayangkan bagaimana mereka mengolah masakan yang lezat.

Akhirnya kudatangi warung nasi tetanggaku, untuk memastikan mereka masih berjualan, sekaligus melihat apakah mereka memang berada di rumah atau sedang mudik ke kampung halaman. Kemungkinan kedua rasanya sangat tidak mungkin, sebab di masa penjarakan sosial karena virus Corona ini, semua orang dilarang bepergian.

Aktivitas masyarakat serba dibatasi. Pasar tradisional hanya dibolehkan beroperasi dari pukul lima pagi hingga pukul satu siang. Tukang ojek pangkalan menunjukkan wajah-wajah lesu, pedagang makanan keliling ragu-ragu. Semua dilanda kekhawatiran yang besar terhadap virus yang menyerang seluruh negara di dunia dengan serempak. Dan karena pada dasarnya aku jarang keluar rumah untuk hal yang tidak terlalu penting, pemberlakuan peraturan untuk diam di rumah saja rasanya tidak terlalu menyiksa.

Rasa heran masih menaungi pagiku karena rutinitas yang hilang. Ibarat seorang perempuan yang gelisah bertanya mengapa hari-hari belakangan tak pernah lagi mendapatkan rayuan gombal lelakinya. Apakah sudah pindah ke lain hati atau sedang jenuh? Rasanya tetanggaku tak mungkin pindah, karena mereka belum setahun membangun rumah di atas lahan warisan ayahku yang sudah terjual itu. Kecil kemungkinan pula mereka jenuh lalu beralih pada bisnis lainnya. Di kota kecil ini, warung nasi mereka merupakan satu-satunya yang menjual cita rasa masakan padang dengan baik. Jadi pasti tak ada saingan. Pelanggannya akan kehilangan jika mereka tutup.

Kumantapkan langkah kaki menuju warung tetangga. Tak ada aroma rempah yang gurih. “Dek, lho, buka ya ternyata,” kusapa menantu Uni yang sedang berjaga di warungnya.

“Iya Mbak, buka kok. Tapi ya begitu, tidak seramai kalau normal. Mbaknya mau cari apa?” perempuan manis ini selalu mengakhiri kalimat dengan senyum ramah.

“Gak, Dek. Lihat-lihat aja. Sudah makan tadi. Syukurlah kalau masih buka. Kalau saya malas masak, tinggal lari kemari,” aku menyembunyikan motif asliku mendatanginya. Buru-buru aku pamit dengan alasan kebetulan lupa memakai masker.

Lega rasanya menjumpai mereka masih berjualan seperti biasa. Walau aku tak berani bertanya, kapan mereka memasak dan tetap berjualan dengan menu yang sama: gulai, rendang, perkedel, ikan kembung, balado, ayam pop, telur dadar, tempe, teri terong cabai hijau, sayur nangka, sayur daun singkong, dan yang terpenting: sambal hijau. Kau mungkin bertanya bagaimana aku bisa memastikan semua menu lengkap. Kuberi tahu, setiap kubeli salah satu menu, sambil memerhatikan Uni atau siapa pun mengambil pesanan, kuamati makanan itu satu per satu. Dan karena mereka tidak pernah mengubah posisinya, aku hafal dengan sendirinya, di piring tumpukan ke berapa letak jenis-jenis makanan itu.

Pernah suatu hari aku bertanya sambil berkelakar setelah Uni lagi-lagi memberi bonus, kali itu potongan rendang. Aku pesan dua, Uni memasukkan tiga potong. “Un, selain resep turun-temurun, ada ritual khusus atau pantangankah biar masakannya terasa lezat begini?” kulontarkan pujian di ujung pertanyaan.

“Ah, Adek nih. Enggaklah, masak ya biasa aja. Harus bersih, harus hati-hati. Oya, masaknya harus gembira biar masakannya enak.” Uni menanggapi sambil tertawa.

“Yakin nih, Uni, cuma itu saja? Pakai jampi-jampi gak, Un? Kan suka ada tuh pedagang lain yang kalau pagi-pagi menciprat-cipratkan air cucian beras di sekeliling gerobak atau di halaman kedainya sambil komat-komit seperti membaca sesuatu. Atau ada pantangan gak boleh jualan hari Senin.”

Aku tetap mengejarnya dengan pertanyaan berdasarkan pengamatanku pada kedai minuman coklat di seberang jalan.

“Hahaha… Enggak lah. Ya paling Uni sih pantang masak dilihat orang lain selain orang rumah. Bukan apa-apa sih, takutnya grogi. Ini, Dek, lima belas ribu aja,” Uni menyorongkan pesanan sebagai tanda menutup percakapan.

Perbincangan itu terjadi dua minggu lalu, sebelum aku dilanda rasa penasaran luar biasa tentang isi dapur mereka, bagaimana mereka mengolah semua bahan makanan agar bisa jadi hidangan paling diburu oleh para penikmat masakan berempah.

Pagi lain lagi-lagi rayuan aroma masakan padang mengusikku. Selalu begitu, sesuai jadwal mereka memasak. Kebetulan Mang Udin baru saja membetulkan tepian kolam ikan yang berbatasan dengan dapur tetanggaku itu. Batu-batu besar disusun di atas pematang. Entah mendapat bisikan dari mana, aku mendekati dapur mereka, mencari batu yang lebih tinggi setelah menaiki pematang kolam. Ada lubang kecil yang bisa dijadikan celah untuk mengintip. Aku terbelalak melihat pemandangan di dapur itu. Saking kagetnya, aku terpeleset dan tercebur ke kolam, mengagetkan ikan-ikan. Celotehan tetanggaku langsung terhenti. Kuduga mereka sedang saling lirik dan bertanya-tanya. Ah, keisenganku itu memang bukan untuk diulang.

***

Sudah menginjak minggu ketiga, aku masih tak bisa mencium aroma masakan tetangga. Aku rindu mendengar seruan dan celotehan mereka di dapur. Aku rindu otakku dirayu untuk memakan masakan padang. Tapi sudah terbukti, mereka masih berjualan. Baiklah, akan kuobati kerinduan itu dengan membeli saja masakan mereka. Kadang-kadang rindu memang aneh.

“Uni, saya mau perkedel tiga, ikan kembung dua ya. Minta kuah rendangnya juga.”

“Siap, Dek!” cekatan tangan Uni melayani.

“Mmm…Uni, maaf, kalau boleh tahu, Uni sekarang masak pukul berapa ya? Kok saya gak pernah dengar lagi suara ramai di dapur? Bahkan aroma rendang yang selalu menggoda itu tak pernah lagi saya cium.” Akhirnya aku tak tahan bertanya.

Uni mendadak menghentikan gerakannya. Wajahnya segera berbalik, matanya menatapku tajam.

“Adek mengintip dapur Uni?” ***

Puisi dari lagu Mahen : Datang untuk Pergi


untuk apa cinta
dikatakan
bila saja
hanya untuk
menyisakan jeda
dalam pikir

lalu hilang

menghilang ditelan 
rasa yang tidak sama
dan melupakan saja
pinta cinta

pergilah kamu
jangan takuti hidup

ini memang tentang rasa
yang kau beri
dan kau bawa
lalu

hilang

 

Kukukuruyukkk : KONTES AYAM DISKO


Kurang apa ini
sebuah kebahagian dari
nyanyian
alam 
yang disenandungkan oleh ayam


Kukukukuruyukkk

begitulah bunyinya

kakinya bertanduk 
hewan apa namanya?


Lalalallalalala




 

Kobe Bryant : Legendado

Pahlawan adalah mereka yang bergerak menatap ketidakpastian untuk sebuah harapan yang lebih baik. Itulah mengapa saya harus bekerja agar ketidakpastian dari kehidupan ada di tangan ini dan bisa tertangani dengan baik.

Apakah anda mengenal dengan baik seorang pahlawan disana - disini?

Berdedikasi tinggi untuk sebuah kehidupan yang leih baik dan lebih baik lagi



Ayah
kita mengenalnya begitu dekat
dialah pahlawan kita

Siapa lagi? Saat pria sendiri, wanita diciptakan untuk membersamainya agar menjadi teman hidup/


Dialah
Wanita di sisi ayah
yang kamu panggil Ibu

Mengenal Kobe Dean Bryant

Sebagai pemain basket profesional yang telah meninggal, apa yang ditinggalkan setelah kematiannya?








Karma: Nisya dan Luke

 Dimana saya melihat keindahan, selain kejujuran yang engkau ungkap saat aku tidak disisimu?




Setiap perbuatan akan mendapat balasannya, setiap cinta tidak akan selalu bertepi manis. Inilah kisah gila dua orang saja, tanpa ada pihak lain yang ikut campur.

Dua orang berhak menentukan pilihan hidup mereka, namun Tuhan memiliki kata yang tidak diketahui. Itulah mengapa, kita harus diam bersama mendengarkan firman-Nya.

“hi, bisakah kita berbicara sebentar?” Nisya menghalau rasa sungkan di hati dengan sifat ramahnya. Tidak bagus, jika dua orang bertemu dan tidak saling menyapa.

Lelaki yang didekatnya, menoleh. Seakan mengidentifikasi gadis yang sedang memulai percakapan.

“bisa, kenapa tidak? Siapa nama anda?”

“Nisya. Panggil saya Nisya”. Nisya mulai mengidetifikasi lelaki disebelahnya, mencari tanda agar mudah dikenali. Sayangnya, dia tidak mendapatkannya.

berikan aku nama

agar kusebut nama itu

sebagai tanda

ini

dan itu

yang menjadi

kesimpulan yang menarik

“Saya Luke. Apakah kita bisa berpindah tempat untuk mengobrol dengan nyaman?”

“Tentu saja, mari!” Nisya mengikuti langkah Luke. Beberapa centi dibelakangnya seakan mawas diri. Dia telah memulai langkah baru, langkah asing yakni mulai mempercayai laki-laki yang didapatnya di pinggir jalan, diatas jembatan penyebrangan yang sedang menikmati ikan-ikan yang sedang berenang dengan bebasnya.

“Apakah kamu punya pacar?” Tanya Luke tanpa menoleh. Sepertinya masih ada rasa cangung di antara mereka. Maklum, kesan pertam mencurigakan

“Tidak”. Jawab Nisya pendek. Seakan memberi ruang agar pemikiran negatifnya berlalu dulu. Pertanyaan ini terlalu sensitif bagi wanita yang sedang di rundung kesendirian. Sendiri bukan berarti untuk menderita.

“Apakah kamu sudah menikah?” Pertanyaan macam apa ini. Stay positif mungkin dia tidak ingin menganggu istrinya orang sehingga lebih baik mengakhiri segera daripada ada badai tiba-tiba.

“Tidak” Jawab Nisya pendek. Nisya tidak mengetahui apa maksud dari pertanyaannya. Cukup dengan jawaban yang dibutuhkan.

“Bagaimana dengan kamu?” Tanya Nisya balik. Hukum percakapan perkenalan tanyalah balik dengan pertanyaan yang ada. Itu akan memudahkan untuk saling mengenal.

“Tidak dan tidak juga”

Hahahhaha

tertawalah

seakan kehidupan ini 

sangat menyenangkan

tertawalah

seakan kehidupan ini

melupakan kesedihan

Jawaban macam apa itu yang diberikan. Memberikan dua jawaban untuk satu pertanyaan. Luar biasa tingkat kepekaannya.

“Kamu sepertinya orang jauh, kenapa di sini?” Tanya Nisya menyelediki

“saya dari Karnataka, kerajaan jauh disana. Orangnya tidak makan sapi, karena kami menyembahnya” tutur Luke

“Saya dari Macassar, orangnya adalah pelaut ulung. Aku jutuh cinta pada laut dan semua yang ada disana termasuk pelautnya, apakah anda benar-benar seorang pelaut?”

“Iya, saya seorang pelaut. Apakah kamu akan jatuh cinta kepada saya?” Tanya Luke sembari menatap konyol

“Hmmm, sepertinya akan terjadi hal itu sayangnya, aku belum memutuskan untuk itu”. Tampak Nisya berpura-pura berpikir keras tentang kemungkinan yang terjadi. Hal konyol yang akan dilakukan adalah membuat pelaut ini mencintainya.

“Anda berlayar kemana saja, apakah pelayaran lokal atau keseluruh kerajaan di muka bumi?”

“Saya berlayar ke seluruh muka bumi membawa hasil bumi untuk mereka yang membutuhkan”

“Wow! Itu benar-benar menyenangkan, apakah anda bahagia dengan pelayaran anda?”

“Iya, saya sangat bahagia, saya lebih bahagia hidup dilautan lepas daripada hidup di daratan”.

“Wah, itu sangat menarik. Laut begitu menakjubkan sehingga menarik sebagian hidup anda di sana. Apa yang anda dapati dari kehidupan laut?” Nisya makin menyukai percakapan ini, dia begitu terlarut dengan rasa cinta yang ada di hati, begitu menggebu.

“Semua menyenangkan dan membuat saya menikamti setiap perjalanan” kata Luke dalam posisi berpikir bahwa kehidupan ini menyenangkan di lautan lepas tanpa hiruk pikuk kehidupan nyata yang mengonggong ketika mata terbuka sampai terpejam kembali, begitu terus sampai lelah sampai dalam mimpi.

Menyenangkan, seperti apakah gerangan itu?

Ada kehidupan di sisi lain yang menyenangkan untuk di lalui.

“Kamu tidak takut badai?” Nisya semakin curious mengenai kehidupan yang pernah singgah dihatinya dan sekarang menghilang. Badai yang menerjangnya di pelayarannya menuju pulau begitu membekas.

“Kami berlayar diantara badai, tidak ada yang perlu ditakutkan. Hanya saja kami tidak bisa tidur diwaktu badai. Badan kita rolling terus menerus dan membuat kita kelelahan”.

Kenapa badai tidak menakutkan bagi sailor atau sepertinya sailor tidak takut dengan apapun. Sudah terbiasa dengan kondisi tersebut.

Badai adalah kehidupan dia menerpa siapa saja yang dikehendaki orang yang biasa teterpa badai akan bersikap biasa saja terhadap badai, bahkan kamu cenderung menikmati.

Aku mengingat badai yang membawaku pada ingatan yang lain, dimana kematian menjemput dan dosa belum tuntas untuk dibersihkan. Begitu banyak permaafan yang belum tersampaikan. Cukupkah kepada angin kusampaikan maaf kepada siapapun disana yang tersakiti. Cukupkah kepada gelombang yang membawaku sampai disini kusampaikan maaf. Kalau memang ada waktu biarkan saya berbuat lebih banyak kebaikan. Ini begitu menyakitkan, saat tangan sudah tidak bisa menjangkau apapun untuk memegang kendali.

“Mari kita berpisah hari ini, esok matahari bersinar dan saya akan kembali menemui anda disini” Kata Luke kepada Nisya yang masih bengong terhadap peristiwa yang mengigitnya di hari itu.

“Iya, terimakasih atas waktunya”.

***

Perjalanan adalah sebuah kata kerja yang kita ketik di layar 6 inchi. Semua berjalan seperti angin. Tidak terlihat bahkan diragukan bahkan diasumsikan sebagai pertanda. Ini adalah perjalanan pertama kita saat itu, saat kita bertemu tidak sengaja di antara batas bumi.

Aku tidak terpesona padamu, hanya saja aku butuh sesuatu denganmu, mungkin kamu partner yang baik untuk ini.

Kita bertemu lagi, dihari yang sama dan waktu yang berbeda. Karena begitulah bumi tidak suka dengan hal yang sama. Katanya lebih indah jika berbeda seperti gambaran pelangi yang tidak pernah kau tatap lebih dari dua puluh detik.

Semua begitu menyenangkan, semua begitu terlukiskan hingga melupakan kucing yang ada di bawah pohon jambu sudah mulai bisa mengeong. Aku lupa jika kucing mengeong sejak pertama kali dia memiliki bunyi dan bunyi Cuma satu, mengeong. Tidak seperti kita, begitu banyak bunyi yang engkau dengarkan kepadaku, seperti music yang aku temui di pinggir hutan di Bantimurung. Menyisik meninggalkan kedamaian dalam relung.

Aku damai disini dan aku juga merasakan kedamaianmu disana. Seakan aku yang lemah hanya bisa menghabiskan secangkir dan setengah kopi yang kau berikan. Ini bukan tentang cinta, ini adalah pemberian. Berikan saya lebih banyak lagi, agar aku tetap disini bermusik dengan caraku sendiri.

Waktu begitu tidak cukup untuk