Apa kabar, ayah?
Anakta sudah dewasa
dan lebih dewasa dari kemarin
Apa kabar, ayah?
Anakta sudah dewasa
dan lebih dewasa dari kemarin
Aku ingin menangis
saat semua serba salah
diriku yang tidak pernah bekerja
diminta untuk bekerja
seakan membuatku
merasa
meindahkan gunung
diatas pundakku
jika memang
sedari dulu tahu
hidup sekasar ini, kenapa tidak pernah
memberitahuku
dan sekarang
saya merasa sangat lemah
sangat lemah
dan hanya bisa mengeluarkan air mata saja
ini saja
yang aku punya
Ayah
aku lelah
aku tidak cukup kuat menghadapi semua
kalau saja
tanpa kamu
aku tidak tahu
pilihan hidup apa yang aku ambil
dan bagimana semua ini
Dimana saja
saya bisa melihat
bagaimana kerja keras
adalah usaha yang terbaik
yang pernah dilakukan dan diberikan
untuk
kita semua di rumah
yang hanya merasa semuanya aman
dan terlindungi
dan Itu semua adalah
yang kita mau
Setahun lalu
Saya bersepakat untuk mengambil jalan ini
jalan yang kulalui sangat sulit
Hari ini
Rasa ingin menyerah saja
dan membiarkan semua terlunta-lunta
dan begitu saja seperti sedia kala
Ayah. Berat sekali hidup ini
hingga kau menjual apa saja
untuk sebuah kehidupan yang lebih baik
Itupun masih berat dan sangat berat kurasa
Apalagi tanpa ayah, apa jadinya
kehidupan ini?
Apakah ini menyiksa?
dan akan menyiksa saat semua
tidak sesuai rencana ayah
Aku masih seperti dulu
yang engkau besarkan sedari kecil
masih saja tidak paham
bahwa ada pahlawan
yang senantiasa kamu ceritakan
dan kamu ceritakan ulang
seakan mengaburkan dirimu
yang telah menjadi pahlawan
yang telah mengajari
berbagai
hal
Untuk kamu
yang tidak pernah saya temui
kusebut nama tuhan dalam hariku
yang kuinginkan pertemuan denganmu
tanpa tahu nama dan raga
bersabarlah
Tuhan akan memudahkan
jalan ini, jalan menuju kesucian
Jalan ini sulitn namun ngat
buahnya sangat manis
hingga ke surga
jangan lengah
hanya sebentar saja, tunggulah waktu itu
dimana semua menjadi milik kita
Saya akan bekerja
bekerja agar saya menjadi orang
yang bisa berfungsi dengan baik
dan yang terbaik
untuk saya sendiri
Inilah hidup saya
untuk saya
dan orang-orang disekitar saya
saya bekerja
meningkatkan kualitas diri
bukan untuk menurunkan menjadi
lebih buruk
menghargai setiap apa saja
yang saya miliki
Ini saya, untuk saya dan semua
Berapa banyak yang harus dibayar
untuk sebuah perasaan yang
dihutang
dan dijadikan piutang
lalu pergi saja.
Seperti tidak tahu
Rumahnya yang akan dibangun
olehnya.
bolehkah kembali ke
dulu
yang ada kita
dan apa saja yang memberikan
apa saja
untuk kita
dan hanya
kita
Alasan?
itulah yang ditanyakan
saat semua
terjadi begitu saja
Berapa banyak untuk dihabiskan
atas nama kepuasan diri
dan kebaikan-kebaikan
yang perlu dibayarkan
dan itukah yang paling baik
atas nama
rasa yang selalu datang di hati
dan itukah yang terbaik
agar hati menjadi damai
dalam lingkaran rasa
yang diberikan
oleh
seorang yang kamu suka
Bila saja
Waktu itu
Kita tidak saling sapa
Adakah rindu terselip di dada
Hingga kini menjelma
Menjadi gulana mendalam.
Akhir ceritanya
Kita ingin ini berlabuh
Pada pertemuan yang tidak
Bisa dikehendaki oleh diri
Dan menjadi
Apa saja
Atas waktu dan lingkungan
Yang tidak saja merestui
Pergilah, dan pergilah
Kejarlah semua maumu
Apa yang teringat
Hanya sekelumit tentang
Masa yang berlalu
Dan membuat semua
Di kenang dalam kata
Oleh siapa saja
Engkau datang dan menyerang
Lalu membuatku bertekuk, dan semua
Adalah rasa untuk istirahat
Sebentar saja, Lalu seperti sedia kala
Apa Kabar mengantuk?
Saat terbangun, kamulah
Rasa kasih atas diri sendiri
Terakhir
katakan yang benar
tentang
Ini adalah kisah
yang dimulai
dengan
tanpa rencana dan
begitu saja
lalu lelah
dan pergi saja
lalu tidak diingat
dan itu menjadi bagian dari
kemalasan orang-orang
yang terjangkit
di hati-hati
menentukan teman hidupku,
dan teman
yang terbaik
dan saya
tidak tahu dimana dia sekarang
Es krim menjadi makanan kesukaanku. Rasanya yang manis membuat hati ceria dan pikiran fresh dari dingin yang mengigil di lidah. Semua menyatu dalam beragam rasa yang tersedia dalam satu wadah atau mungkin anda lebih suka rasa monoton.
Bagaimana es krim itu di buat?
saya berpikir bahwa es krim di buat dari rasa bahagia yang manis dan penuh kepercayaan bahwa dialah pemenang hari ini.
Ah itu hanya alasan mati agar saya bisa makan es krim setiap hari.
**
Saya tida memiliki waktu khusus untuk makan es krim, pagi, siang, sore maupun malam tidak masalah. Bagiku es krim adalah kesukaan tanpa mengenal waktu.
hari ini saya belum makan es krim, rasanya rindu. Es krim tetangga tidak seenak es krim yang biasa menjadi langganan saya. Es krim tetangga terllau manis dan terlalu mahal tidak sesuai budget dan rasa lidah saya. Mohon di maafkan tetanggaku atas lidahku yang kurang bersahabat.
Bagiku es krim harus sesuai dengan rasa, suasana dan kenikmatan dalam satu jilatan yang dingin dalam suasana kepanansan.
Menjadikan pikiran menjadi lebih calm dan bersyukur. Masih ada kenikmatan yang harus disyukuri diantara rasa-rasa yang sudah membuat putus asa.
**
Rasa-ras yang diberikan kepada es krim diantaranya
Strawberry
cokelat
Vanila
dan
Sesuka anda jika anda yang membuatnya sendiri di rumah.
Pernahkah anda membuatnya sendiri dengan bahan kesukaan anda?
Rasanya aku ingin pernah membuatnya, namun gagal. Kasihan
**
Ada banyak cara menikmati es krim, agar lebih joyful sebaiknya eskrim dinikmati bersama dengan orang yang membuat hati anda riang atau yang ingin membuat hati anda riang.
Karena itu sangat inda untuk dinikmati oleh kita-kita semua.
Di bangku taman, menghadap orang lalu lalang yang sedang menyelesaikan rally nya dan anda hanya sedang menonton sambil menikmati hidup. Nikmat Tuhan mana lagi yang kamu dustakan?
Benar
Engkau tidak mengatakan apa-apa
Tentang cinta, yang sering
Mengelorakan rasa-rasa
Lalu menghilang dengan caranya sendiri
Seperti cuaca sepanjang waktu
Benar
Semua akan mengalir
Menuju ke laut
Dan kembali lagi seperti semula
Lalu kita
Menghilang dengan cara kita sendiri
Dimana lagi aku berlari
Hidupku semakin hari semakin tidak bisa lagi dihentikan
banyak yang dipikirkan, hanya dalam pikir
kemampuan berbuat
sangat terbatas
hanya ini dan itu saja
ini dan itu saja
yang seharusnya disyukuri
malah jadi boomerang
atas diri
Sambal terasi merupakan favorit Adi. Makan apa pun, sambal
terasi pelengkapnya. Mungkin bisa sampai satu kilo untuk dua minggu. Kebiasaan
Adi itu dibawa dari rumahnya dulu. Ibunya selalu membuat sambal setiap hari.
Tak lupa ditemani berbagai macam lalapan lengkap untuk menambah cita rasa.
Nisa kurang menyukai makanan pedas, apalagi sambal. Namun, untuk
memenuhi keinginan suaminya, Nisa terpaksa membuatnya setiap hari. Meski
rasanya tak seenak buatan ibu Adi, Adi selalu menagih untuk dibuatkan. Mungkin
rasanya sudah mendekati. Itulah sebabnya dia selalu minta dibuatkan.
“Sambal buatan kamu selalu jadi favorit.”
“Mas, harus ya setiap hari makan sambal?”
“Emang kenapa, Dik?”
“Gak kenapa-kenapa.”
“Makan sambal itu ibarat pelengkap. Kalau gak ada ya gak
lengkap. Kurang mantep aja.”
“Tapi kan kalau setiap hari bosen,” celoteh Nisa kepadanya.
Dengan jaket tebal dan kantong belanjaan Nisa berjalan menyusuri
jalan raya menuju pasar. Matahari belum naik, tapi langkahnya harus segera
sampai di pasar untuk belanja bahan masak pagi ini. Apalagi, di tengah masa WFH
seperti ini, Nisa wajib ke pasar karena anak-anak dan suaminya berada di rumah.
Beli makanan jadi rasanya lebih boros. Karena itu, dia memilih memasak sendiri.
Nisa memilih sayur dan lauk untuk masak hari ini. Saat melihat
cabai, tangannya langsung gatal untuk membeli. Namun, rasanya hari ini Nisa
malas membuat sambal. Satu hari tak ada sambal mungkin tak masalah bagi Adi.
Sepulang dari pasar, tangannya langsung terampil mangolah
bahan-bahan yang sudah dibeli tadi. Anak-anak dipegang Adi. Dengan telaten, Adi
memandikan sampai memakaikan baju mereka. Tak lupa polesan bedak yang ditepuk
asal menempel di muka kedua anak mereka, Aish dan Hamzah.
Jam makan sudah tiba. Meski masih pagi, Adi sudah terbiasa makan
sambal. Namun, kali ini tak ada sajian sambal di meja makan. Adi membuka setiap
wadah yang tertutup.
“Dik, sambalnya mana?”
“Nisa gak buat hari ini. Repot Mas kalau setiap hari buat
sambal. Gak apa-apa kan?”
“Oh repot. Anak-anak kan aku yang pegang, Dik.”
“Iya juga sih. Nisa malas aja sih sebenernya, Mas,” jawabnya
menyeringai.
Adi hanya tersenyum sambil menaruh nasi dan lauk di atas piring.
Nisa memperhatikan Adi yang tampak lahap memasukkan setiap suap
ke mulutnya. Nisa ingin memastikan suaminya makan seperti biasa. Tak tampak
gurat kekecewaan di wajahnya karena tak ada sambal favoritnya. Ibarat angin
segar, Nisa akan membiasakan suaminya makan tanpa sambal. Hanya sesekali Nisa
harus membuat sambal. Nisa tak akan lagi kerepotan di dapur.
Membuat sambal itu agak merepotkan bagi Nisa. Mengupas bawang
merah, bawang putih, memetik tangkai cabai yang kadang membuat tangan panas,
diulek pula. Belum lagi harus digoreng dan dicicipi agar tak keasinan. Alhasil,
lidahnya panas dan kepedasan.
Urusan sambal hari ini selesai. Dalam hati Nisa meminta maaf
pada diri sendiri yang sudah malas membuat sambal untuk suaminya. Padahal, Adi
adalah suami yang selalu pengertian dan ringan hati untuk memastikan Nisa
merasa nyaman.
Namun, Nisa merasa berat jika harus melakukan hal yang sama
setiap hari.
“Gak masak sambal lagi, Dik?”
“Enggak Mas, Nisa lupa kalau cabai habis di kulkas.”
“Bukannya waktu aku ngepel rumah, kamu ke pasar?”
“Nah itu, Nisa juga lupa beli waktu di tukang sayur. Maaf ya,
Mas.”
Kali ini Nisa merasa bersalah karena wajah Adi menampakkan rasa
kecewa. Namun, hanya semangkuk kecil sambal. Adi tak akan menganggapnya masalah
besar. Masalah sambal sama sekali tak akan mengubah sikap Adi. Adi tetap lahap
meski makan ala kadarnya karena tak ada sambal plus lalapan pelengkap nafsu
makan. Nisa tetap kokoh pendirian untuk membuat Adi terbiasa tanpa sambal.
Keesokan harinya, Adi sengaja mengunjungi orang tuanya. Demi
keamanan, Nisa dan anak-anak tidak diajak. Adi berkunjung untuk memberi uang
bulanan kepada ibunya. Adi hanya sebentar mengunjungi ibunya. Rumahnya hanya berjarak
lima kilometer dari rumah Adi.
Nisa mencium punggung tangan Adi ketika Adi pulang, sambil
mengambil keresek berisi wadah berwarna merah.
“Mas udah makan? Yuk makan. Nisa udah masak karedok kesukaanmu,
tapi tak ada sambal. Karedoknya kubuat pedas sebagai pengganti sambal ya.”
“Iya yuk, tapi Mas makan sedikit aja, ya. Soalnya udah makan di
rumah ibu tadi.”
“Pasti karena ada sambal ya?”
“Bukan karena itu, ibu udah sengaja masak buat Mas. Masa Mas gak
makan.”
“Ya udah, Nisa makan sendiri kalau gitu.”
“Gapapa, Mas ikut makan juga, nemenin.”
Masih tentang sambal. Adi sengaja makan di tempat ibu demi
semangkuk kecil sambal goreng, pikir Nisa. Dia terus berpikir keras dan merasa
tak enak hati. Apa niatnya sejahat itu tak mau membuatkan sambal terasi untuk
suaminya sendiri? Namun, Adi tak pernah protes apa pun yang menjadi pilihan
Nisa. Untuk sambal pun, Adi tak pernah meminta Nisa secara langsung meskipun
setiap makan selalu ditanyakan.
Ada sesuatu yang mengganjal di hatinya. Apakah Adi ridha
padanya. Berkali-kali makan, sambal kesukaannya tak tersaji di meja makan.
Nisa menuju dapur untuk membuatkan sambal. Adi berjalan di
belakang Nisa.
“Yuk makan malam.”
“Nisa baru mau….”
“Ada sambal ibu di dalam wadah tadi,” jawab Adi menimpali.
Nisa langsung diam seribu
bahasa karena malu dan kikuk. Nisa langsung duduk di meja makan menemani Adi
makan malam. Tak ada obrolan santai, apalagi serius di meja makan. Setelah
selesai makan, Adi bersiap melanjutkan pekerjaan online-nya di ruang tamu. Nisa langsung mencuci piring di wastafel.
***
Hari itu Nisa tak akan ke pasar karena bahan masakan tersedia di
kulkas. Namun, jarum jam masih di angka enam, Adi sudah bersiap memakai masker
dan sarung tangan membawa kunci motor.
“Mau ke mana, Mas?”
“Mau ke pasar, Dik, anak-anak jagain ya. Takut ngejar.”
Adi bergegas menyalakan motor lalu berlalu meninggalkan Nisa di
daun pintu. Padahal, dia belum sempat menanyakan untuk apa Adi ke pasar. Selama
Adi ke pasar, Nisa mulai sibuk di dapur. Masakan pagi itu sudah tersaji saat
Adi pulang. Juga ada sambal buatan Nisa yang sudah beberapa hari tak tersaji.
“Yuk makan, enak nih hari ini makannya. Mana gunting ya?”
“Buat apa? Katanya mau makan, tapi yang dicari gunting.”
“Ini, tadi Mas beli sambal ulek instan yang saset.”
“Mas…..”
Nisa menutup wajah sambil terisak. Adi tampak kebingungan pada
Nisa yang tiba-tiba terisak cukup keras. Adi menghampiri Nisa sambil berusaha
membuka wajahnya yang ditutup.
“Hei, kenapa kenapa, Dik? Hari ini capek masak ya? Maafin Mas,
tadi pagi gak bantuin kamu pegang anak-anak ya.”
“Bukan itu, Mas…”
“Iya kenapa, Dik? Coba cerita””
Nisa meletakkan tangannya di atas meja sambil sesekali menghapus
air matanya.
“Nisa merasa bersalah. Mas sampai beli sambal instan. Kemarin
sambal buatan ibu. Apa besok sambal buatan istri kedua? Kenapa Mas gak ngomong
aja kalau mau sambal buatan Nisa?”
“Wah gawat, ngomong-nya ngelantur ini. Karena sambal, jadi Adik kesel liat Mas beli
sambal?”
“Bukan. Justru Nisa yang merasa bersalah, Mas. Nisa ogah buatin
Mas sambal, padahal itu favoritmu.”
“Kalau Adik mau masak sambal, masak aja. Enggak pun gak
apa-apa.”
“Apa ridha Mas ada di semangkuk sambal?”
“Lah kok gitu, Mas ridha sama kamu, Dik. Kamu masak sambal
ataupun enggak,” jawab Adi terkekeh.
“Besok-besok Nisa masak sambal terus buat kamu.”
“Iya, Dik. Asal kamu gak capek. Kamu masak itu udah kebaikan.
Masak masakan kesukaan suami, itu kebaikan yang luar biasa.”
“Maafkan Nisa, Mas. Nisa gak masak sambal karena Nisa gak suka
bau terasi.”
“Kalau kamu buat sesuatu padahal gak suka dan itu buat suami,
kamu bisa masuk surga dari pintu mana saja. Terasi yang bau mungkin sewangi
kasturi surga.”
Air mata Nisa makin mengucur deras di pipi merahnya
Nasib memiliki rumah bertetangga dengan pemilik warung nasi padang itu ibarat perempuan yang kenyang dengan rayuan gombal.
https://lakonhidup.com/2020/10/11/warung-padang-tetangga/
Setiap hari, aroma rempah masakan khas nasi padang itu menyapa
penciuman. Di jam-jam tertentu, aroma masakan seperti rayuan disertai ajakan
untuk merelakan diri dibelai-belai sepenuh hasrat. Bahkan kadang kala hasrat
itu minta dituntaskan menjadi sepiring nasi hangat yang masih mengepul,
potongan rendang atau ikan, disiram kuah gulai dan rendang di atas sayur daun
singkong, ditambah sambal hijau sebagai topping.
Udara panas ketika menyantap rasa pedas masakan ini berlomba
dengan desahan puas, sesekali berseru: “tambo ciek!” seolah
dunia milik sendiri dan diet adalah daftar terakhir dari seratus pantangan yang
diingat. Begitulah imajinasiku tentang menikmati masakan padang langsung di
tempatnya.
Kau tahu bagaimana
rayuan maut lelaki, bukan? Sederetan julukan untuk lelaki perayu sudah banyak
dikenal, mulai dari cassanova, don juan, buaya darat, hingga lelaki hidung
belang. Sebutan ini tidak pernah mengenal kasta dan strata sosial. Setiap
lelaki yang pandai merayu perempuan dan mengakibatkan perempuan mudah terjatuh
dalam pelukan, mendapat julukan yang serupa. Dan perempuan, sering kali lupa
diri ketika dimabuk rayuan.
Bagi perempuan yang
kebetulan pernah berjumpa dengan beragam tipe lelaki, meskipun sudah hafal
berbagai jurus rayuan, ada perasaan senang diam-diam. Itu terbukti dari rona
merah di pipi yang menyemburat tiba-tiba begitu terkena rayuan yang
menggetarkan. Anehnya pula, meski tahu rayuan itu hanya gombalan untuk
menyenangkan hati, perempuan tidak pernah kapok menerimanya.
Begitupun yang terjadi
padaku setiap hari. Hidungku sering sekali dirayu oleh aroma masakan padang
dari dapur tetangga. Dan walaupun tahu tak mungkin memakan masakan padang itu
setiap hari, aku tak pernah merasa keberatan perutku digombali imajinasi,
mereka-reka bagaimana olahan makanan itu dikerjakan. Apakah mereka jorok atau
berseka selama memasak? Pertanyaan yang mirip dengan ini: gombalan apa yang
akan dia berikan berikutnya, apakah rayuan lelaki ini dilontarkan pula pada
perempuan lainnya? Mirip bukan?
Jangan protes,
sebaiknya kau iyakan saja perumpamaan suka-suka itu. Kerap kali aku juga merasa
kenyang dengan gombalan aroma masakan padang tetangga, seperti aku merasa
kenyang dengan rayuan gombal para lelaki. Walaupun tetap saja, suatu kali aku
terjebak dan bagai dicucuk hidung menuruti hasrat dasar; mengenyangkan perut.
Sejak pukul enam atau
setengah tujuh, dari dinding dapur tetangga yang bersebelahan dengan batas
kolam, sudah terdengar suara anggota keluarga bertimpalan. Kadang terdengar
sapaan sang kakek atau nenek menyapa cucu balitanya yang baru saja bangun. Tak
lama suara ayah si balita itu turut pula menghangatkan suasana, mengajak sang
anak bercanda. Kadang-kadang terdengar tangisan anak-anak yang berebut entah
apa. Oya, anak balita itu sepasang kembar yang cantik dan ganteng. Mereka lucu
dan menggemaskan sekali. Suara ibu balita jarang terdengar, mungkin karena
pembawaannya yang tidak cerewet. Iya, sejauh yang kutahu sekilas, sebab aku tak
pernah sempat bicara lama dengan mereka.
Pada pukul setengah delapan pagi, biasanya mulai terdengar suara
desis pressure cooker atau kita biasa menyebutnya panci
presto. Pasti mereka sedang merebus daging sapi. Berturutan dengan itu, aroma
ikan kembung goreng menyeruak ke udara sekira pukul sembilan. Aku yakin, tanpa
perlu melihat, aroma ikan yang sudah dimarinasi dengan garam dan jeruk nipis
telah digulingkan dalam bumbu halus campuran bawang putih, bawang merah, dan
kunyit, kemudian digoreng dalam minyak panas hingga matang kecoklatan.
Kau tahu, di hari-hari
tertentu ketika aku berlatih yoga pada jam mereka memasak, sering kali
pikiranku tak bisa fokus pada asana yang sedang dipelajari. Godaan datang
terutama ketika sudah lama tak memakan masakan padang, dan lidah sedang sangat
rindu pada pesona rasa yang memikat lidah. Tentu bisa kau bayangkan bagaimana
aku seolah diburu menyelesaikan latihan karena ingin segera lari membeli
rendang dan perkedel, meminta tambahan kuah rendang disiramkan lebih banyak di
atas sayur daun singkong dengan sedikit sambal hijau.
Biasanya aku jarang sekali membeli porsi komplet dengan nasi,
sebab sudah ada nasi di rumah. Aku hanya mengidamkan lauknya saja. Sesekali,
ketika keengganan memasak itu tiba, walau hanya tinggal memencet tombol majic jar untuk memasak nasi, ke sanalah aku
pergi, warung nasi padang tetangga. Kalau sedang beruntung bertemu Uni, sang
nenek balita, sebungkus nasi putih hangat seharga lima ribu rupiah sering
dibonusi potongan ayam goreng. Sering kali kutolak, karena aku memang hanya
hendak membeli nasi.
“Jangan Uni, ini cuma
perlu nasi aja, malas masak, tapi mau sekalian menghabiskan lauk kemarin,”
kutolak halus pemberiannya. Dan sesering itu pula Uni memaksa memasukkan
potongan ayam goreng itu ke dalam kertas nasi.
“Biarin, enggak
apa-apa. Uni kan gak bisa kasih apa-apa sama tetangga.”
Kalau sudah begitu,
rezeki tidak boleh ditolak, bukan? Ibaratnya, rayuan yang tiap hari mampir ke
hidung itu berbonus kegembiraan sebuah pembuktian cinta yang nyata. Kumaknai
itu sebagai wujud cinta Uni, sang tetangga.
***
Setiap hari, rutinitas
memasak mereka tidak pernah berubah. Pagiku diramaikan dengan cicit burung
setiap membuka jendela kamar di lantai dua, disambung suara celotehan tetangga
di dapur mereka, sebelum akhirnya aku pun sibuk dengan rutinitas pagiku
sendiri. Membereskan ruangan dan mulai bekerja di depan layar komputer
setelahnya.
Aku memang seseorang
yang sangat betah berdiam di rumah. Bisa berhari-hari hanya keluar beberapa
langkah saja ke teras depan, ke samping rumah, atau kebun belakang. Jadi bisa
saja, aku tidak tahu apa yang terjadi di luar rumah. Dan aku kadung nyaman
dengan kebiasaan tersebut.
Sudah beberapa hari
ini, rayuan aroma masakan padang tak pernah mampir lagi ke hidungku. Awalnya
tak terlalu kuperhatikan. Tapi lama-lama penasaran juga, kenapa pada setiap jam
biasa, suara kesibukan memasak saling bertingkah antara blender yang menguarkan
aroma cabai sebelum jadi sambal, suara desis panci presto, dan seruan-seruan
lain, tak pernah lagi menggodaku untuk membayangkan bagaimana mereka mengolah
masakan yang lezat.
Akhirnya kudatangi
warung nasi tetanggaku, untuk memastikan mereka masih berjualan, sekaligus
melihat apakah mereka memang berada di rumah atau sedang mudik ke kampung
halaman. Kemungkinan kedua rasanya sangat tidak mungkin, sebab di masa
penjarakan sosial karena virus Corona ini, semua orang dilarang bepergian.
Aktivitas masyarakat
serba dibatasi. Pasar tradisional hanya dibolehkan beroperasi dari pukul lima
pagi hingga pukul satu siang. Tukang ojek pangkalan menunjukkan wajah-wajah
lesu, pedagang makanan keliling ragu-ragu. Semua dilanda kekhawatiran yang
besar terhadap virus yang menyerang seluruh negara di dunia dengan serempak.
Dan karena pada dasarnya aku jarang keluar rumah untuk hal yang tidak terlalu
penting, pemberlakuan peraturan untuk diam di rumah saja rasanya tidak terlalu
menyiksa.
Rasa heran masih
menaungi pagiku karena rutinitas yang hilang. Ibarat seorang perempuan yang
gelisah bertanya mengapa hari-hari belakangan tak pernah lagi mendapatkan
rayuan gombal lelakinya. Apakah sudah pindah ke lain hati atau sedang jenuh?
Rasanya tetanggaku tak mungkin pindah, karena mereka belum setahun membangun
rumah di atas lahan warisan ayahku yang sudah terjual itu. Kecil kemungkinan
pula mereka jenuh lalu beralih pada bisnis lainnya. Di kota kecil ini, warung
nasi mereka merupakan satu-satunya yang menjual cita rasa masakan padang dengan
baik. Jadi pasti tak ada saingan. Pelanggannya akan kehilangan jika mereka
tutup.
Kumantapkan langkah kaki menuju warung tetangga. Tak ada aroma
rempah yang gurih. “Dek, lho, buka ya
ternyata,” kusapa menantu Uni yang sedang berjaga di warungnya.
“Iya Mbak, buka kok.
Tapi ya begitu, tidak seramai kalau normal. Mbaknya mau cari apa?” perempuan
manis ini selalu mengakhiri kalimat dengan senyum ramah.
“Gak, Dek. Lihat-lihat
aja. Sudah makan tadi. Syukurlah kalau masih buka. Kalau saya malas masak,
tinggal lari kemari,” aku menyembunyikan motif asliku mendatanginya. Buru-buru
aku pamit dengan alasan kebetulan lupa memakai masker.
Lega rasanya menjumpai
mereka masih berjualan seperti biasa. Walau aku tak berani bertanya, kapan
mereka memasak dan tetap berjualan dengan menu yang sama: gulai, rendang,
perkedel, ikan kembung, balado, ayam pop, telur dadar, tempe, teri terong cabai
hijau, sayur nangka, sayur daun singkong, dan yang terpenting: sambal hijau.
Kau mungkin bertanya bagaimana aku bisa memastikan semua menu lengkap. Kuberi
tahu, setiap kubeli salah satu menu, sambil memerhatikan Uni atau siapa pun
mengambil pesanan, kuamati makanan itu satu per satu. Dan karena mereka tidak
pernah mengubah posisinya, aku hafal dengan sendirinya, di piring tumpukan ke
berapa letak jenis-jenis makanan itu.
Pernah suatu hari aku
bertanya sambil berkelakar setelah Uni lagi-lagi memberi bonus, kali itu
potongan rendang. Aku pesan dua, Uni memasukkan tiga potong. “Un, selain resep
turun-temurun, ada ritual khusus atau pantangankah biar masakannya terasa lezat
begini?” kulontarkan pujian di ujung pertanyaan.
“Ah, Adek nih.
Enggaklah, masak ya biasa aja. Harus bersih, harus hati-hati. Oya, masaknya
harus gembira biar masakannya enak.” Uni menanggapi sambil tertawa.
“Yakin nih, Uni, cuma
itu saja? Pakai jampi-jampi gak, Un? Kan suka ada tuh pedagang lain yang kalau
pagi-pagi menciprat-cipratkan air cucian beras di sekeliling gerobak atau di
halaman kedainya sambil komat-komit seperti membaca sesuatu. Atau ada pantangan
gak boleh jualan hari Senin.”
Aku tetap mengejarnya
dengan pertanyaan berdasarkan pengamatanku pada kedai minuman coklat di
seberang jalan.
“Hahaha… Enggak lah.
Ya paling Uni sih pantang masak dilihat orang lain selain orang rumah. Bukan
apa-apa sih, takutnya grogi. Ini, Dek, lima belas ribu aja,” Uni menyorongkan
pesanan sebagai tanda menutup percakapan.
Perbincangan itu
terjadi dua minggu lalu, sebelum aku dilanda rasa penasaran luar biasa tentang
isi dapur mereka, bagaimana mereka mengolah semua bahan makanan agar bisa jadi
hidangan paling diburu oleh para penikmat masakan berempah.
Pagi lain lagi-lagi
rayuan aroma masakan padang mengusikku. Selalu begitu, sesuai jadwal mereka
memasak. Kebetulan Mang Udin baru saja membetulkan tepian kolam ikan yang
berbatasan dengan dapur tetanggaku itu. Batu-batu besar disusun di atas
pematang. Entah mendapat bisikan dari mana, aku mendekati dapur mereka, mencari
batu yang lebih tinggi setelah menaiki pematang kolam. Ada lubang kecil yang
bisa dijadikan celah untuk mengintip. Aku terbelalak melihat pemandangan di
dapur itu. Saking kagetnya, aku terpeleset dan tercebur ke kolam, mengagetkan
ikan-ikan. Celotehan tetanggaku langsung terhenti. Kuduga mereka sedang saling
lirik dan bertanya-tanya. Ah, keisenganku itu memang bukan untuk diulang.
***
Sudah menginjak minggu
ketiga, aku masih tak bisa mencium aroma masakan tetangga. Aku rindu mendengar
seruan dan celotehan mereka di dapur. Aku rindu otakku dirayu untuk memakan
masakan padang. Tapi sudah terbukti, mereka masih berjualan. Baiklah, akan
kuobati kerinduan itu dengan membeli saja masakan mereka. Kadang-kadang rindu
memang aneh.
“Uni, saya mau
perkedel tiga, ikan kembung dua ya. Minta kuah rendangnya juga.”
“Siap, Dek!” cekatan
tangan Uni melayani.
“Mmm…Uni, maaf, kalau
boleh tahu, Uni sekarang masak pukul berapa ya? Kok saya gak pernah dengar lagi
suara ramai di dapur? Bahkan aroma rendang yang selalu menggoda itu tak pernah
lagi saya cium.” Akhirnya aku tak tahan bertanya.
Uni mendadak menghentikan
gerakannya. Wajahnya segera berbalik, matanya menatapku tajam.
“Adek mengintip dapur
Uni?” ***
Pahlawan adalah mereka yang bergerak menatap ketidakpastian untuk sebuah harapan yang lebih baik. Itulah mengapa saya harus bekerja agar ketidakpastian dari kehidupan ada di tangan ini dan bisa tertangani dengan baik.
Apakah anda mengenal dengan baik seorang pahlawan disana - disini?
Berdedikasi tinggi untuk sebuah kehidupan yang leih baik dan lebih baik lagi
Dimana saya melihat keindahan, selain kejujuran yang engkau ungkap saat aku tidak disisimu?
Setiap perbuatan akan mendapat balasannya,
setiap cinta tidak akan selalu bertepi manis. Inilah kisah gila dua orang saja,
tanpa ada pihak lain yang ikut campur.
Dua orang berhak menentukan pilihan hidup
mereka, namun Tuhan memiliki kata yang tidak diketahui. Itulah mengapa, kita
harus diam bersama mendengarkan firman-Nya.
“hi, bisakah kita berbicara sebentar?” Nisya
menghalau rasa sungkan di hati dengan sifat ramahnya. Tidak bagus, jika dua
orang bertemu dan tidak saling menyapa.
Lelaki yang didekatnya, menoleh. Seakan
mengidentifikasi gadis yang sedang memulai percakapan.
“bisa, kenapa tidak? Siapa nama anda?”
“Nisya. Panggil saya Nisya”. Nisya mulai
mengidetifikasi lelaki disebelahnya, mencari tanda agar mudah dikenali.
Sayangnya, dia tidak mendapatkannya.
berikan aku nama
agar kusebut nama itu
sebagai tanda
ini
dan itu
yang menjadi
kesimpulan yang menarik
“Saya Luke. Apakah kita bisa berpindah tempat
untuk mengobrol dengan nyaman?”
“Tentu saja, mari!” Nisya mengikuti langkah Luke.
Beberapa centi dibelakangnya seakan mawas diri. Dia telah memulai langkah baru,
langkah asing yakni mulai mempercayai laki-laki yang didapatnya di pinggir
jalan, diatas jembatan penyebrangan yang sedang menikmati ikan-ikan yang sedang
berenang dengan bebasnya.
“Apakah kamu punya pacar?” Tanya Luke tanpa
menoleh. Sepertinya masih ada rasa cangung di antara mereka. Maklum, kesan
pertam mencurigakan
“Tidak”. Jawab Nisya pendek. Seakan memberi
ruang agar pemikiran negatifnya berlalu dulu. Pertanyaan ini terlalu sensitif
bagi wanita yang sedang di rundung kesendirian. Sendiri bukan berarti untuk
menderita.
“Apakah kamu sudah menikah?” Pertanyaan macam
apa ini. Stay positif mungkin dia
tidak ingin menganggu istrinya orang sehingga lebih baik mengakhiri segera
daripada ada badai tiba-tiba.
“Tidak” Jawab Nisya pendek. Nisya tidak
mengetahui apa maksud dari pertanyaannya. Cukup dengan jawaban yang dibutuhkan.
“Bagaimana dengan kamu?” Tanya Nisya balik.
Hukum percakapan perkenalan tanyalah balik dengan pertanyaan yang ada. Itu akan
memudahkan untuk saling mengenal.
“Tidak dan tidak juga”
Hahahhaha
tertawalah
seakan kehidupan ini
sangat menyenangkan
tertawalah
seakan kehidupan ini
melupakan kesedihan
Jawaban macam apa itu yang diberikan.
Memberikan dua jawaban untuk satu pertanyaan. Luar biasa tingkat kepekaannya.
“Kamu sepertinya orang jauh, kenapa di sini?”
Tanya Nisya menyelediki
“saya dari Karnataka, kerajaan jauh disana.
Orangnya tidak makan sapi, karena kami menyembahnya” tutur Luke
“Saya dari Macassar, orangnya adalah pelaut
ulung. Aku jutuh cinta pada laut dan semua yang ada disana termasuk pelautnya,
apakah anda benar-benar seorang pelaut?”
“Iya, saya seorang pelaut. Apakah kamu akan
jatuh cinta kepada saya?” Tanya Luke sembari menatap konyol
“Hmmm, sepertinya akan terjadi hal itu
sayangnya, aku belum memutuskan untuk itu”. Tampak Nisya berpura-pura berpikir
keras tentang kemungkinan yang terjadi. Hal konyol yang akan dilakukan adalah
membuat pelaut ini mencintainya.
“Anda berlayar kemana saja, apakah pelayaran
lokal atau keseluruh kerajaan di muka bumi?”
“Saya berlayar ke seluruh muka bumi membawa
hasil bumi untuk mereka yang membutuhkan”
“Wow! Itu benar-benar menyenangkan, apakah
anda bahagia dengan pelayaran anda?”
“Iya, saya sangat bahagia, saya lebih bahagia
hidup dilautan lepas daripada hidup di daratan”.
“Wah, itu sangat menarik. Laut begitu
menakjubkan sehingga menarik sebagian hidup anda di sana. Apa yang anda dapati
dari kehidupan laut?” Nisya makin menyukai percakapan ini, dia begitu terlarut
dengan rasa cinta yang ada di hati, begitu menggebu.
“Semua menyenangkan dan membuat saya
menikamti setiap perjalanan” kata Luke dalam posisi berpikir bahwa kehidupan
ini menyenangkan di lautan lepas tanpa hiruk pikuk kehidupan nyata yang
mengonggong ketika mata terbuka sampai terpejam kembali, begitu terus sampai
lelah sampai dalam mimpi.
Menyenangkan, seperti apakah gerangan itu?
Ada kehidupan di sisi lain yang menyenangkan
untuk di lalui.
“Kamu tidak takut badai?” Nisya semakin curious mengenai kehidupan yang pernah
singgah dihatinya dan sekarang menghilang. Badai yang menerjangnya di
pelayarannya menuju pulau begitu membekas.
“Kami berlayar diantara badai, tidak ada yang
perlu ditakutkan. Hanya saja kami tidak bisa tidur diwaktu badai. Badan kita rolling terus menerus dan membuat kita
kelelahan”.
Kenapa badai tidak menakutkan bagi sailor atau sepertinya sailor tidak takut dengan apapun. Sudah
terbiasa dengan kondisi tersebut.
Badai adalah kehidupan dia menerpa siapa saja
yang dikehendaki orang yang biasa teterpa badai akan bersikap biasa saja
terhadap badai, bahkan kamu cenderung menikmati.
Aku mengingat badai yang membawaku pada
ingatan yang lain, dimana kematian menjemput dan dosa belum tuntas untuk
dibersihkan. Begitu banyak permaafan yang belum tersampaikan. Cukupkah kepada
angin kusampaikan maaf kepada siapapun disana yang tersakiti. Cukupkah kepada
gelombang yang membawaku sampai disini kusampaikan maaf. Kalau memang ada waktu
biarkan saya berbuat lebih banyak kebaikan. Ini begitu menyakitkan, saat tangan
sudah tidak bisa menjangkau apapun untuk memegang kendali.
“Mari kita berpisah hari ini, esok matahari
bersinar dan saya akan kembali menemui anda disini” Kata Luke kepada Nisya yang
masih bengong terhadap peristiwa yang mengigitnya di hari itu.
“Iya, terimakasih atas waktunya”.
***
Perjalanan adalah sebuah kata kerja yang kita
ketik di layar 6 inchi. Semua berjalan seperti angin. Tidak terlihat bahkan
diragukan bahkan diasumsikan sebagai pertanda. Ini adalah perjalanan pertama
kita saat itu, saat kita bertemu tidak sengaja di antara batas bumi.
Aku tidak terpesona padamu, hanya saja aku
butuh sesuatu denganmu, mungkin kamu partner yang baik untuk ini.
Kita bertemu lagi, dihari yang sama dan waktu
yang berbeda. Karena begitulah bumi tidak suka dengan hal yang sama. Katanya
lebih indah jika berbeda seperti gambaran pelangi yang tidak pernah kau tatap
lebih dari dua puluh detik.
Semua begitu menyenangkan, semua begitu
terlukiskan hingga melupakan kucing yang ada di bawah pohon jambu sudah mulai
bisa mengeong. Aku lupa jika kucing mengeong sejak pertama kali dia memiliki
bunyi dan bunyi Cuma satu, mengeong. Tidak seperti kita, begitu banyak bunyi
yang engkau dengarkan kepadaku, seperti music yang aku temui di pinggir hutan
di Bantimurung. Menyisik meninggalkan kedamaian dalam relung.
Aku damai disini dan aku juga merasakan
kedamaianmu disana. Seakan aku yang lemah hanya bisa menghabiskan secangkir dan
setengah kopi yang kau berikan. Ini bukan tentang cinta, ini adalah pemberian.
Berikan saya lebih banyak lagi, agar aku tetap disini bermusik dengan caraku
sendiri.
Waktu begitu tidak cukup untuk